April 30, 2004
Airmata, Persembahan Dari Pulauku.
23 Januari 1999

Langit mulai terang walaupun jarak pandang masih sangat minim.
Aku mulai mampu melihat pulau-pulau itu.
Kata ayahku yang dulunya adalah seorang pelaut, setiap kali kapal memasuki perairan ini, yang akan terlihat pertama adalah tiga pulau yang saling berhimpit itu.
Senang.. ragu.. takut..
Entah bagaimana aku harus mendeskripsikan perasaanku.
Aku pulang hari ini.
Dengan hati yang masih menggenggam sejuta kenangan itu.
Dengan hati yang masih menaruh harap pada seseorang yang memintaku untuk pulang.
Namun...

Aku selalu mencintai laut. Membuatku tenang.
Entah, mungkin karena aku lahir di sebuah rumah sakit yang menghadap ke laut, atau karena rumahku dibangun di atas laut, atau mungkin juga karena aku dikenalkan dengan air laut di usia yang masih terhitung bulan.
Yang pasti, aku selalu mencintai laut. Terutama laut indah yang mengelilingi pulau tempat kelahiranku.
Ketempat dimana kapalku mengarah saat ini.

Di saat ragu dan takut ini mulai menyerang, aku berdiri di dek kapal.
Memandang ke laut, melihat ombak bermain.
Ini perairan yang sama yang kucintai sejak kecil.
Sambil mencoba untuk tenang, aku mulai mengurai berita-berita itu.
perkelahian antar kampung ... lima rumah terbakar ... sepuluh rumah terbakar ... penduduk mulai mengungsi ...
Semua berita itu bercerita tentang daerah rumahku.
Tuhan...
Sudah sejak bertahun-tahun, perkelahian antar kampung itu selalu terjadi di daerah rumahku. Tapi bukan karena soal agama. Itupun hanya sebatas lempar-melempar batu antar pemuda.
Lalu mengapa ada isu bahwa pertikaian yang sekarang adalah karena soal agama? Tak mungkin!

Ketenangan yang datang dan pergi seiring lagu ombak menghempas badan kapal, perlahan sirna.
Aku kembali takut.
Apa yang akan kuhadapi nanti ? Belum ada kabar dari orang tuaku.
Aku menemukan adikku tak jauh dari tempatku berdiri. Perlahan dia menghampiri dan kemudian memelukku. Kami berkelahi dengan ketakutan yang sama. Pelukan itu membuatku agak ringan.

Tiga pulau yang saling berhimpit tadi kembali terlihat.
Kapal yang kutumpangi ini berputar-putar di sekitar tiga pulau itu, menunggu matahari benar-benar keluar dengan sempurna dan menerangi lautan ini.

Perlahan, setelah terang yang sempurna, kapalku mulai mendekati pulau itu. Pulauku, yang cengkih dan pala nya membuat tergiur para kompeni.

Sekejap luruh hatiku, merasakan ketakjuban yang sama seperti yang selalu kurasakan setiap aku pulang.
Aku akan bertelanjang kaki menyusuri pantai.
Berkeliling pulau, menonton tarian eksotis rakyat, merenangi mata-mata penuh senyum, me...

Angan-angan (atau kenangan ?) sesaat tentang kedamaian pulau ini terberai oleh teriakan-teriakan kasar dari tepian pulau. Orang-orang yang tadinya berwajah ramah, kini memasang tampang keras dan mengacungkan parang. Tuhan...
Inikah kotaku yang damai itu ?
Yang jalannya selalu penuh tawa..
Yang bahkan jauh di malam hari pun masih ada yang menembangkan lagu-lagu ceria..
Yang dikelilingi pasir putih, pantai yang indah..


dan selanjutnya, konflik itu merusak batin jiwa semua orang di pulau itu. termasuk jiwaku.
benci untuk mengetahui, bahwa anak yang belum sekolah pun sudah mampu membedakan jenis senjata dari suaranya.
benci untuk mengetahui, bahwa anak yang belum sekolah pun sudah mampu mengerti akan dendam terhadap mereka yang membunuh ayahnya.
benci untuk mengetahui, bahwa banyak jiwa yang harus terambil, banyak jalan bisu menjadi saksi darah yang menetes, banyak tempat dengan ribuan kenangan yang harus menjadi abu.
kini...
semua berulang.
seperti sebuah film yang seenaknya bisa di-replay.
sesuka hati para pemain catur itu.
kami menangis.
demi istana-istana abu dan hati-hati yang beku.
mengapa harus kami ?
still me @ 11:55 AM and your

leon!E ~ Jan'2006