RAPUH (Bag. I) - 6 Februari 2004
Valium tidak akan pernah mampu membunuhku. Tidak saat lalu. Tidak saat ini. Perempuan beranjak meninggalkan tempat tidur. Matahari menyisakan sedikit cahaya di balik jendela kamarnya. Senja mulai merangkum hari. Satu hari kerja terlewat sudah. Perempuan membutuhkan ini. Bergelung sepi membunuh sedih.
Melepas baju satu-satu. Mencoba merasakan hangatnya air dalam
bath tub. Lilin-lilin wangi menebar kerlip. Nyaman. Tenang.
Sudah berapa lama aku berkawan dengan barang itu ? Lima tahun. Lebih. Ya. Lama ? Baru. Whatever ! Hanya dia yang mampu membuatku sedikit melupakan kesedihanku. Dan saat kuterbangun, kepingan-kepingan kesedihan itu sudah tertata apik di sudut hatiku. Takkan tersentuh. Aku masih bisa tetap berjalan.
Perempuan terkenang masa-masa perkenalan dengan benda pelepas kesedihan bernama Valium itu. Masa yang sulit. Setidaknya menurut Perempuan.
Namun sepertinya, kenangan itu masih harus berdiam di tempat semula. Ada yang membunyikan bel pintu depan.
Ah.. aku lupa. Lelaki berjanji akan datang malam ini. Ada perih. Ada sukacita.
Baiklah..
Berpakaian rapih, menguakkan daun pintu, tersenyum kepada Lelaki. Terlebih melihat kantong belanja di kedua tangannya.
"Aku membawa sayur cinta, daging cinta dan rempah cinta", Perempuan tertawa mendengarnya bertutur, mengantar Lelaki memasuki pintu itu.
"Maaf lama menyambutmu. Aku harus menyempurnakan penampilanku lebih dulu."
"Untuk apa sih.. Aku mencintaimu adanya. Bukan karena penampilanmu."
"Kau yakin dengan ucapanmu ?" Teringat pesan di selularnya pagi tadi.
Ingin mempermainkanku seperti biasanya kau terhadap perempuan ? Rasa percaya mulai menipis.
"Bungaku.. Aku mencintaimu, Perempuanku..."
Apakah kau yakin ? Dan bagaimana caranya kau dengan mudah mampu menyebutku sebagai Perempuanmu, sedangkan perasaanku tak pernah mengijinkanku menyebutmu sebagai Lelakiku ?
Perempuan meninggalkan Lelaki di dapur. Menuju kamar mandi.
Sobat penghilang rasa sakitku akan membuatku tertidur kembali. Tak mungkin aku meninggalkan Lelaki begitu lama. Dia akan tahu. Mengunci pintu dari dalam, Perempuan mulai
bercerita pada tembok kamar mandi.
Detik bergulir, Lelaki mulai merasa kehilangan Perempuan
nya. Mulai bermain perasaan tidak nyaman dalam dirinya. Berpikir keras, apakah tadi berkata sesuatu yang salah. Ketakutan yang sama kembali mengetuk dinding-dinding ketabahannya.
Pernah mendengar cerita-cerita itu dari bibir Perempuan. Tentang kecenderungan Perempuan untuk melukai diri sendiri. Tentang ketidakmampuan Perempuan mengendalikan perih di hati dan kemudian berserah pada hal-hal bodoh. Bayangan sosok rapuh yang kerap ditemui bila Lelaki secara sengaja ataupun tidak melukai perasaannya. Semakin rapuh dengan tatapan kosongnya. Walaupun selama ini yang ditemui Lelaki hanya sikap diam dan tatapan kosong, namun kengerian akan terjadi hal-hal yang buruk tetap mengusiknya.
Selama ini, dia berusaha keras menekan Perempuan. Memaksanya untuk menjadi kuat. Agar Perempuan mampu mengendalikan emosi dalam diri. Takkan sanggup bagi dia bila suatu saat nanti harus menyaksikan Perempuan
nya melukai diri.
Pintu kamar mandi tertutup rapat. Panggilannya tak berjawab. Merapat ke dinding, mencoba menangkap dan berharap ada sedikit suara di balik dinding itu. Suara isak lirih terdengar. Sayup. Tapi diikuti bunyi yang lain. Sesuatu dibenturkan pada dinding. Tapi bunyi itu berirama.
Ya Tuhan !
"Perempuan, keluarlah ! Apa yang kau buat disitu ? Ya Tuhan.. berhentilah.. Jangan kau sakiti dirimu. Sayangi dirimu. Berhentilah.. kau membuatku takut Sayang..", Berteriak-teriak, Lelaki menggedor pintu itu.
Keputusasaan sudah mulai memuncak saat irama dari balik dinding itu berhenti. Perlahan pintu kamar mandi membuka. Seraut wajah bersimbah airmata tampak di balik pintu itu. Lelaki meraih wajah itu kedalam pelukannya.
"Apa yang kaupikirkan Perempuan ? Apakah tadi aku datang terlambat ? Apakh aku mengucapkan sesuatu yang salah ? Mari bicara. Jangan kau diam lantas melukai dirimu. Bicaralah Perempuanku.. Bicaralah.."
Tatapan kosong itu. Lelaki tak mampu menatapnya lebih lama. Perempuan menjauh.
Seperti tercekik, Perempuan mulai berbicara. Bercerita tentang kejadian pagi itu. Tentang suara-suara yang mengisahkan masa lalu Lelaki. Sekian lama suara-suara itu tak dipedulikan sedikitpun oleh Perempuan, namun kejadian pagi tadi... Dan dia terlepas, tak sanggup menahan deru bimbang yang menghentak kepercayaannya, membuat segala sesuatu menjadi ampas. Tak sanggup mengalami kejadian yang sama untuk kedua kalinya, biarpun dengan orang yang berbeda.
Lelaki membuang ego kelaki-lakiannya, menjelaskan segalanya. Bahwa semua itu adalah kesalahpahaman semata. Bercerita tentang mengapa dia mengirimkan pesan yang salah itu kepada seorang tersebut. Minta maaf karena lupa akan janjinya, selalu akan membicarakan hal-hal yang dianggap rawan terhadap hubungan mereka.
"Aku membutuhkanmu...", Lelaki diujung terjauh egonya. Perempuan senyap. Seperti selalu.
Sedang apa kau Lelaki ? Mencoba memanipulasi pikiranku ? Atau kau berkata sesungguhnya ?
Sentuhan lembut di lengannya membangunkan Perempuan dari percakapan batinnya. Menatap lurus ke mata Lelaki. Mencari.. mungkin sedikit kegelisahan. Setengah berharap untuk menemukan riak dusta disana. Namun mata tak berdusta.
Tetap saja kalimat itu keluar dari sela bibirnya, "Sudah berapa perempuan yang menerima ucapan seperti itu darimu ?"
Lelaki tetap menatap. Perempuan tetap mencari. Senyap membekukan waktu.
"Bersamamu aku harus berjuang mencari kata-kata yang tepat. Bahkan memakai kata-kata yang tak pernah terpikir akan kuucapkan untuk perempuan manapun. Kata-kata terpantas untuk menceritakan perasaanku padamu. Namun disana.. kau dengan keangkuhanmu, selalu siap menyanggah tiap-tiap kata. Seburuk itukah aku ?" Kalimat-kalimat mengalir pelan. Tiada penekanan, pun intonasi berlebihan. Tapi Perempuan mampu mengerti tiap kata. Tidak. Perempuan tidak mengerti. Hatinya yang mengerti.
Alam bersabda, hampir setiap Hawa dapat dengan mudah didustai. Bahkan terkadang, memang suka didustai. Namun alam pun menentukan kehalusan dan kepekaan hati mereka. Peka terhadap kebenaran. Terhadap hal-hal yang tulus. Kontras dan unik.
Applause untuk Sang Kreator.
Perempuan mendekat, menyentuh pipi Lelaki. Bersambut pelukan. Dalam diam. Tanpa kata. Tanpa napsu. Hanya diam. Lelaki sudah mendapatkan jawabannya.
"Aku ingin kau berhenti melukai dirimu, Perempuanku. Tubuhmu adalah tubuhku. Sakitmu adalah sakitku. Kerapuhanmu menusuk jantungku. Aku inginkan kau berdamai dengan dirimu."
Menangis.
Senyap.
Akupun ingin...