May 07, 2004
Bukan Sebuah Pembenaran
Menurutku, jalan kecil di samping hotel itu sangat kotor. Banyak sampah yang bertebaran di ujung jalan masuk, tepat di depan warung-warung makan. Aneh, warung-warung itu ramai. Padahal jalanan sepi. Entah darimana asalnya orang-orang yang makan disitu.

Aku melangkah perlahan memasuki jalan itu. Tercekat melihat mobil polisi perlahan mendekati bangunan yang kutuju. Kuputuskan untuk terus berjalan melewati mobil itu. Tapi demi melihat dua orang polisi dalam mobil itu keluar dan bertegur sapa dengan seseorang dari dalam bangunan, aku akhirnya berubah pikiran. Sambil lalu aku mendengar percakapan hangat orang-orang itu. Rupanya polisi-polisi tersebut memang sudah biasa datang kesitu, menjadi semacam pelindung untuk kegiatan busuk yang dilakukan disini. Kegiatan busuk yang akan aku laksanakan juga.

Papan nama di depan pintu itu menginformasikan nama seorang dokter. Masuk kedalam, ruang depan terlihat seperti ruang tunggu dokter. Beberapa wanita duduk di kursi panjang. Tampak bingung. Mungkin seperti itu juga raut wajahku.

Seorang wanita yang duduk di meja, yang bisa kusebut sebagai meja pendaftaran, mengisyaratkan agar aku duduk di kursi seberang mejanya.

"Kapan terakhir datang bulan ?"
"12 Mei, Bu", aku mencoba santun.
"Berarti... lima minggu telat ?"
Aku terdiam.
"Mengapa baru hari ini datang ? Mana yang ngamilin ?" Kalimat-kalimat itu terdengar kasar bagiku.
"Aku..."
"Tidak tanggung jawab. Dasar laki-laki", mungkin dia mencoba berempati terhadapku.

Sungguhpun demikian, bukannya laki-laki itu tidak bertanggung jawab terhadapku.
Saat ini kami kuliah tingkat akhir di kelas yang sama. Empat tahun sudah kami saling mencintai. Ya, aku mencintainya, meskipun tahu bahwa kami tak mungkin bersama. Perbedaan agama di antara kami yang membuat tak mungkin.
Keluarganya menerimaku dengan lapang. Mereka pun sangat baik. Karena hal-hal itulah aku merasa tak mampu untuk melukai mereka.

Juga tak mungkin melukai Mama.
Papa baru saja meninggalkan kami minggu kemarin. Saat-saat sebelum Papa meninggal, aku masih ragu untuk membuang janin ini. Ingin hatiku memeliharanya.
Namun ketika saat itu tiba, ketika Papa meninggal, aku menjadi tumpuan hidup keluargaku.
Gaji tak seberapa dari hasil kerjaku di laboratorium kampus menjadi satu-satunya sumber uang makan bagi Mama dan saudara-saudaraku. Dan mereka sangat berharap aku tamat tahun ini, terus bekerja di tempat dengan penghasilan yang lebih baik. Memang sekarang aku sedang menjalani tahap akhir di kampus, penulisan skripsi. Namun, dengan adanya janin ini...
Saat itulah, aku memilih berbuat kejam seprti ini. Naif. Bukan sebuah alasan yang terpuji untuk menjadi seorang pembunuh. Aku tidak sedang beralasan. Aku hanya mencoba menjaga langkahku tetap di pijakan yang tidak gamang. Sehingga aku mampu menopang mereka yang bertumpu padaku.

"Tiga juta", suara wanita tadi menyentakku.
"Maksud Ibu..?"
"Tiga juta, sudah termasuk obat. Jika kamu setuju, sekarang langsung dikerjakan."
Tanpa melihat kedalam dompet pun, aku tahu bahwa aku tak mempunyai uang sebanyak itu. Tapi tetap kubuka juga dompetku, menghitung semua uang yang dimiliki aku dan kekasihku. Hanya satu juta lima ratus ribu rupiah.
"Aku.. tak punya uang sebanyak itu Bu. Ini semua uangku, hanya setengah dari yang diminta Ibu. Bolehkah dicukupkan sekian ?", aku meletakkan dompetku di atas meja.
"Aduh, aduh.. Disini bukan toko. Kami tidak memberikan fasilitas potongan harga", wajah wanita itu mulai menggambarkan kekesalan.
Aku hampir menangis, "Tapi Bu.."
Wanita itu diam. Membuang muka dariku. Agak lama diam ini. Mungkin jika aku sedang berhitung, aku sudah mencapai angka 100 ketika akhirnya dia berbicara.
"Begini saja. Sekarang kamu ikut saya ke dalam, bertemu dokternya langsung. Kamu bicara langsung saja sama beliau. Siapa tahu bisa ada keringanan."

Wanita itu berdiri dan berbalik memasuki lorong di sebelah kursinya. Aku ikut berjalan sambil melihat kekiri kanan dalam lorong itu.
Yang pertama kutemui adalah sebuah ruangan seperti kamar mandi. Namun tak memiliki bak atau tanda-tanda lain bahwa itu kamar mandi. Keramik batu di lantainya yang mengingatkan aku akan sebuah kamar mandi. Ada seorang pria disana, sedang membersihkan lantai. Normal saja caranya, setelah kain disapukan ke lantai, si pria memeras kain itu ke ember. Yang menarik perhatianku adalah hasil perasan itu berwarna merah. Otot perutku kejang sekejap. Tak cukup berani untuk bertanya, aku rasa aku sudah tahu mengapa air itu berwarna merah.

Sebuah meja seperti di ruangan depan kutemui lagi di ujung lorong itu. Lebih ramai dari ruang depan. Mungkin karena ruangan itu lebih kecil. Tampak beberapa perempuan keluar masuk ke sebuah ruangan di samping meja itu. Sebagian ada yang berpakaian selayaknya dokter. Aneh menurutku, tak ada dari dokter-dokter itu yang laki-laki. Padahal nama di papan pintu masuk tadi menunjukkan nama dokter laki-laki.

Aku disuruh duduk di meja itu. Di sampingku duduk seorang perempuan juga namun ada lelaki di belakangnya. Ekspresi mereka sepertinya memang ekspresi wajib untuk setiap tamu di rumah ini, ekspresi wajah bingung.

Kemudian datang salah satu dari mereka yang tampak seperti dokter tadi, duduk di seberangku.

"Ya, bagaimana ?" Tanyanya padaku.
"....", tak tahu hendak menjawab apa.
Sebuah suara di belakangku yang menjawab, "Priksa dulu Dok. Supaya tahu mau di-charge berapa."
"Ayo ikut saya", Dokter tadi melenggang masuk ruangan samping, ruang periksa rupanya.

Aku berbaring di atas dipan putih. Dokter meletakkan tangan diatas perutku dan mulai menekan-nekannya. Sejurus kemudian, dia menggeleng-geleng.
Aku tak mengerti, hanya turun dan mengikuti dia kembali ke mejanya.

"Usianya sudah cukup krisis sebenarnya. Tapi, ok.. kami bisa menanganinya. Tiga juta."
"Tapi Dok, saya benar-benar tak memiliki uang sebanyak itu. Saya hanya punya setengahnya."
"Kalau begitu, terserah anda. Silahkan buat pilihan."
"Dokter, bolehkah saya cari dulu uang kekurangannya?"
"Sudah saya bilang, terserah. Tapi jika anda lebih lama lagi datang kesini, kandungan anda akan semakin besar dan biaya pun akan berbeda."
Tuhan, apa yang harus kulakukan?

Akhirnya aku hanya duduk terdiam di kursi itu. Dokter tadi mulai melayani 'tamu-tamu' yang lain. Aku diam. Lebih tepatnya, aku tak tahu hendak berbuat apa.
Pikirku, jika aku pergi darisini, kemana arahku ? Meminjam kemana ? Menjual apa ? Jika saja uangku bisa di-kloning, pasti jumlahnya akan cukup.
Kepalaku semakin tertunduk. Berat.

"Sebentar lagi jam istirahat kami. Jika anda belum bisa mengambil keputusan, sebaiknya anda meninggalkan tempat ini", suara dokter itu tak mampu membuatku mengangkat mukaku.

Masih dalam diam, kurasakan dia menyentuh tanganku.

"Berapa sebenarnya uangmu ?"
"Satu juta setengah, Dok."
"Hhh...baiklah. Berjanjilah jangan melakukan lagi kesalahan yang sama. Ini obat-obat yang harus kauminum dalam seminggu ini. Pakai pembalut selama darahnya belum berhenti", aku merasakan tangannya menyelipkan 3 plastik kecil obat ke dalam genggamanku.

Tak kuasa, sebutir airmata meluncur dari mataku. Hanya sebutir. Aku harus kuat. Demi semua yang mencintaiku.
Kuraih uang dalam dompet dan memberikan pada dokter itu. Entah mengapa, aku merasa lebih hormat terhadapnya.
Dia mengajak aku masuk lebih dalam lagi ke ruang periksa tadi. Menyuruhku berbaring di meja operasi, dan memberikan secarik kain untukku.

Aku harus membaui kain itu. Kacamataku diambil. Tanpa kacamata itu aku takkan mampu melihat dengan jelas. Ditambah dengan pengaruh dari sesuatu yang berasal dari kain tadi, aku menjadi agak pusing. Namun samar-samar aku masih bisa mendengar suara-suara sekitar.

"Buka celanamu."
Kutarik celanaku. Entah kutaruh dimana sesudahnya.
Aku ingin berbicara pada dokter itu.
Memberitahunya bahwa aku belum benar-benar terbius.
Aku masih bisa merasa.

Namun sepertinya bibirku tak bergerak.
Aku masih berjuang keras untuk berkata-kata ketika kurasakan sedotan keras di bawah perutku.
Apa yang terjadi ?
Tak ada rasa sakit.
Aku hanya merasa tersedot. Atau disedot. Entahlah.
Pikiranku masih mampu berputar-putar tapi badanku tak merasa sakit.
Kembali aku merasa seperti disedot.
Apa itu hanya ilusiku ? Aku kan sedang dibius.
Makin melemah badanku.
Kemudian aku merasa sesuatu diusapkan ke mukaku.
Dingin.
Tidak, basah.
Sepertinya sebuah kain yang lain.
Tapi kali ini digosokkan ke pipiku.
Dan aku mulai merasa goncangan di badanku.

"Sudah selesai. Kamu boleh turun. Ini, pakai sendiri celanamu."

Aku menurut walaupun perasaan dan pikiranku tak menentu.
Aku merasakan sesuatu dalam celanaku. Ternyata sudah dipasang pembalut.

Aku berjalan keluar. Tepatnya didorong keluar ruangan itu, ke sebuah ruangan lagi.

Mual. Sangat mual. Aku ingin muntah.

Saat itu sebuah loyang diangsurkan kedepanku. Untuk muntahanku.
Aku muntah kesitu. Tapi mengapa muntahanku jatuh ke lantai ?
Jarak pandangku berubah. Mungkin karena aku tak memakai kacamata.
Aku dengar ada yang memarahiku. Karena muntahanku itu.
Tapi kemudian seorang laki-laki datang membersihkannya.

Aku duduk di sofa rusak dalam ruangan itu. Meminum teh yang disediakan untukku.
Aku sadar. Tapi badanku lemah.

Aku butuh diam sejenak. Pelan-pelan badanku mulai kuat walaupun belum kembali normal.

Aku menegakkan badanku, mengajaknya berdiri dan melangkah keluar. Ternyata aku langsung mencapai jalan sepi tadi.

Badanku ringan. tapi tidak pikiranku. Berat. Lebih berat lagi.
Ingin menangis ketika akhirnya mengerti bahwa janinku sudah tidak ada lagi.
Aku membunuhnya.
Dengan mengatasnamakan cintaku pada mereka.

Sudah terjadi.
Aku sudah mengembalikan kakiku ke jalan yang memang harus kulewati.

Ampuni aku ya Allah..

[Untuk seorang wanita kuat, yang mengajarkan aku tentang mencintai tanpa penyesalan.
Terima kasih untuk tulusmu, untuk ada tiap kali aku membutuhkanmu, untuk menjadikan aku role-model, terlebih lagi...
untuk mencintai dia tanpa penyesalan.]
still me @ 2:47 PM and your

leon!E ~ Jan'2006