"Last night, he asked me to marry him," Marian membuka pembicaraannya siang itu dengan Arthur.
Arthur tersenyum. Dia sangat mengerti keinginan Marian untuk segera menikah.
"Tapi masih ada yang menjadi ganjalan dalam hatiku."
"Apa lagi ?"
"Kehamilanku ini."
"Loh.. bukannya akan lebih baik jika dia menikahimu ?"
"Thur, kamu tahu sendiri masalah kehamilanku. Janinku sangat lemah. Aku ingin memastikan dulu janinku benar-benar kuat, setalah itu baru aku akan lebih lega menjalankan rencana pernikahan itu. Aku takut, setelah menikah dan aku keguguran, dia akan menyesalinya."
"I see.. Well, jadi alasannya demi janin di perutmu? Bukan karena dia memang mencintaimu?"
"Dia mencintaiku."
"Kalau memang seperti itu, berarti apa yang harus ditunggu ?"
"Really ? Kalau kamu di posisi dia, laki-laki yang akan menikahiku, terus aku keguguran, apa yang akan terjadi ? Maksudku, mungkin untuk beberapa saat kita akan bersedih bersama, sesudahnya... apa ? I've seen one before. Si laki-laki stres, karena ternyata setelah dia menikahi perempuan yang dihamilinya, perempuan itu malah keguguran dan tidak hamil lagi dalam waktu yang lama."
"Hey, hey... pola pikir orang kan berbeda-beda"
Marian menarik napas panjang.
"Mungkin aku terlalu paranoid melihat dia begitu ngga stabil"
"Kalau aku yang di posisi dia, dan aku menikahi seorang perempuan atas dasar cinta... mau keguguran, mau ngga bisa hamil lagi... ngga ada yang bisa merubahnya. Seorang temanku, istrinya beberapa kali keguguran dan sampai sekarang belum punya anak, tapi masih baik-baik saja perkawinannya."
"Jadi, apakah aku akan membiarkan dia terjun bebas jadi suami dan calon bapak?"
Arthur mengerutkan keningnya, menatap bingung ke arah Marian.
"Kamu sendiri maunya seperti apa ?"
"Aku ingin janinku sehat. Aku ingin dia jadi suamiku. Aku ingin dia tulus menjalani semua itu. Dan aku tahu, dia memang tulus, dengan segala yang dia buat untuk aku selama ini. Beli susu, vitamin, menuruti keinginan-keinginanku, menjagaku.. Duh, mungkin aku terlalu bodoh. Aku bahkan sudah berpikir untuk menjalani semua ini sendiri."
"That's fine, tapi menurutku, jika kamu jalani ini bersama bapak calon anakmu, kenapa tidak ? My suggestion is marry him. It will lighten a lot of your problems. Memang itu bukan berarti tidak akan ada masalah-masalah baru lainnya. But it'll help both of you..."
"Tapi jika dia terus-terusan labil, lama-lama aku bisa turut labil juga."
"Kalian akan menikah demi cinta kan? Altar gereja pasti bisa membuat kalian lebih stabil."
--------------------------------------------------------
Sepenggal percakapan diatas, sepertinya terlalu extreme untuk dijadikan wacana. Tapi itu bisa saja terjadi di dunia nyata.
Untuk menikahi seseorang, kita perlu alasan-alasan yang kuat.
Tentu saja dengan ditambahi cinta di dalam alasan-alasan itu.
Namun bagaimana dengan mereka yang menikah hanya demi alasan-alasan tanpa cinta didalamnya?
Bagaimana denganmu ?
Apa alasanmu menikahi atau ingin menikahi pasanganmu ?
Apakah alasan-alasan itu sudah diwarnai dengan cinta ?
Sehingga, disaat suatu waktu nanti alasan-alasan itu terenggut oleh angin, kalian masih akan tetap bersamanya ?
Aku akan menikah...
...karena cinta membungkus seluruh alasanku.