Lampu merah. Perempatan Slipi. Hanya 2 menit kunikmati pemandangan itu.
Seorang anak kecil, perempuan, sekitar 1 tahun, tapi mungkin juga sudah 3 tahun, mungkin aku saja yang salah menilai ukuran tubuhnya. Bajunya merah muda.
Menangis, melihat kearah Tukang Es. Aku tak tahu nama es itu apa, tapi di daerah asal rumahku, kami menyebutnya Es Topi, nama kerennya Ice Cream Cone.
Seorang lelaki, sekali lagi aku sok tahu menebak umurnya, mungkin sekitar 23 tahun. Berpakaian serba hitam, berambut gondrong, mirip si koreagrafer itu.. Kulihat dari kumpulan teman-temannya, mungkin, sekali lagi aku sok tahu, mungkin dia seorang seniman jalanan.
Tiba-tiba Si Lelaki menghampiri Si Kecil yang sedang menangis. Entah kalimat apa yang keluar dari komat-kamit mulutnya. Tapi Si Kecil berhenti menangis. Si Lelaki menunjuk ke Tukang Es. Si Kecil menghampiri, Tukang Es memberinya Es Topi.
Si Lelaki mendekati Tukang Es, memberinya uang logaman, dan kemudian menggendong Si Kecil. Mereka tersenyum bersama.
Aku kembali berpikir, benarkah pemandangan tadi kunikmati ? Lalu mengapa aku terenyuh ? Itukan bukan film sedih di bioskop yang kerap membuatku tersedu. Dan mengapa aku harus tersedu untuk adegan nyata tadi ? Toh mereka bahagia.
Aku mendalami perasaanku.
Tidak, aku tak tersedu untuk mereka.
Aku tersedu untuk diriku.
Aku ingat kasih sayang seorang lelaki pada anak-anaknya.
Walaupun dia belum pernah melihat mereka.