May 31, 2004
Gw Pindah Lembaga !!!
Guys.. dapet salam dari Si Sepatu Warna-Warni. Hari ini pake sepatu kuning ijo. Dan Dia ngambil jatah ojek gw. :(


Gw akhirnya no longer bekerja di lembaga pemerintahan yang sesuai alamat email gw itu, lembaga pemeriksa itu tuh.. yang udah bubar.
Berdasarkan Keppres hari ini, gw resmi pindah ke lembaga baru yang kerjanya memberantas, sampai Keppres baru keluar lagi.
Mudah-mudahan gw bisa terus disini deh.

Eh, tapi gw ga bisa bolos lagi. Ada kerja dan ga ada kerja tetep harus masuk. Dan pura-pura sibuk kali yah. Jadi gw berencana mau posting aja tiap hari.
still me @ 4:41 PM and your 0 comments

May 28, 2004
Uyang Tawun..
Blog gw ulang taun. Ulang taun pertama, harusnya punya lay-out baru kali yah? Ah ngga ah.. yang penting udah berhasil setahun.
Nyanyi dong.. :)
still me @ 9:33 AM and your 0 comments

May 27, 2004
Udah pada tau belum yah, dari Stasiun Kereta Pondok Cina, sekarang ada Kereta Bisnis, berangkatnya 8:02 AM. Berhentinya di Stasiun Juanda (Yang penting buat gw itu aja, sebenernya masih ada pemberhentian lain juga sih..)

Gw naek itu, hampir setiap pagi.
Makin hari gw makin hafal muka orang-orangnya. Terutama yang di gerbong 1, ampir selalu gw di gerbong itu abis gw males jalan ke belakang.
Ada Bapak-bapak agak tua sama istrinya. Ada Mas-mas kacamata sama istrinya juga dan temen istrinya, ada mbak-mbak yang selalu pake bedak pas dia duduk.

Nah, dulu ada orang yang ampir tiap naek duduknya seblah gw. Gw menyebut dia, Si Sepatu Warna-Warni. Kenapa begitu? Karena yang gw kenal pertama kali adalah sepatunya.
Biasanya pas dapet duduk, gw senengnya duduk diem, nunduk dan akhirnya tidur! :) Karena gw nunduk, yang kliatan cuma kaki-kaki tetangga duduk gw. Hari pertama sepatunya biru. Tus besoknya kuning. Tus besoknya merah hitam. Lama-lama gw peratiin, orangnya sama dan selalu duduk sebelah gw. Turunnya pun bareng. Tapi kalo udah turun kereta, gw udah ga bisa meratiin apa-apa lagi, yang di pikiran gw cuma berebutan ojek di bawah (Stasiun Juanda bertingkat).
still me @ 9:44 AM and your 0 comments

May 25, 2004
di bawah langit,
ga ada yang baek.. baek skalian,
atau ancur.. ancur skalian.

there's no such thing like that.
face it.
still me @ 4:18 PM and your 0 comments

May 18, 2004
Song Edition
Kata orang, katakanlah dengan bunga
Gw.. gw seneng ngasih tau perasaan gw lewat lagu.
Nah ini ada dua lagu.


Yang pertama buat kalian semua, yang sedang tersenyum atau lagi berusaha mempertahankan senyum.
Ada yang berpendapat kalo senyum itu curing life.
Gw rasa, pendapat itu benar.
Senyum yuk, sambil nyanyi.. :)


That's What Friends Are For

And I never thought I'd feel this way
And as far as I'm concerned
I'm glad I got the chance to say
That I do believe I love you

And if I should ever go away
Well, then close your eyes and try to feel
The way we do today
And then if you can remember

Keep smilin', keep shinin'
Knowin' you can always count on me, for sure
That's what friends are for
For good times and bad times
I'll be on your side forever more
That's what friends are for

Well, you came and opened me
And now there's so much more I see
And so by the way I thank you

And then for the times when we're apart
Well, then close your eyes and know
These words are comin' from my heart
And then if you can remember, oh

Keep smiling, keep shining
Knowing you can always count on me, for sure
That's what friends are for
In good times, in bad times
I'll be on your side forever more
Oh, that's what friends are for

Keep smilin', keep shinin'
Knowin' you can always count on me, for sure
That's what friends are for
For good times and bad times
I'll be on your side forever more
That's what friends are for

Keep smilin', keep shinin'
Knowin' you can always count on me, oh, for sure
'Cause I tell you that's what friends are for
For good times and for bad times
I'll be on your side forever more
That's what friends are for (That's what friends are for)

On me, for sure
That's what friends are for
Keep smilin', keep shinin'





Okeh.. lanjut lagu kedua.
Ini buat mereka yang sedang ada dalam Petualangan Romantis.
Diberkatilah kalian.. :)


Living On A Prayer

Once upon a time
Not so long ago
Tommy used to work on the docks
Union's been on strike
He's down on his luck...it's tough, so tough

Gina works the diner all day
Working for her man, she brings home her pay
For love - for love

She says: We've got to hold on to what we've got
'Cause it doesn't make a difference
If we make it or not
We've got each other and that's a lot
For love - we'll give it a shot

We're half way there
Livin' on a prayer
Take my hand and we'll make it - I swear
Livin' on a prayer

Tommy got his six string in hock
Now he's holding in what he used
To make it talk - so tough, it's tough

Gina dreams of running away
When she cries in the night
Tommy whispers: Baby it's okay, someday..

We've got to hold on to what we've got
'Cause it doesn't make a difference
If we make it or not
We've got each other and that's a lot
For love - we'll give it a shot

We're half way there
Livin' on a prayer
Take my hand and we'll make it - I swear
Livin' on a prayer
We've got to hold on ready or not
You live for the fight when it's all that you've got
We're half way there
Livin' on a prayer
Take my hand and we'll make it - I swear
Livin' on a prayer
still me @ 5:32 PM and your 0 comments

May 11, 2004
Pangeran Impulsif & Putri Well-Organised
Di suatu masa, kala pedang dan kuda masih menjadi atribut wajib para lelaki, hiduplah seorang pangeran bernama Pangeran Rytarus. Pangeran Rytarus adalah seorang putra mahkota dari sebuah kerajaan yang terkenal dengan masyarakatnya yang berbicara kasar namun berhati baik.

Sang Raja ingin sekali mempersiapkan Pangeran Rytarus dengan sebaik-baiknya untuk menggantikan dirinya. Bila saatnya tiba, Raja sangat ingin putra mahkotanya menjadi raja yang arif dan bijaksana.

Pangeran Rytarus, dikarenakan kepintaran dan kecerdikan yang luar biasa, tumbuh menjadi pangeran yang selalu ingin tahu akan banyak hal. Dan ya, dia belajar banyak hal.
Sayangnya, selain pintar dan cerdik, Pangeran Rytarus pun adalah seorang yang sangat impulsif. Banyak hal yang tiba-tiba terlintas di pikirannya harus langsung dikerjakan. Bila tengah dikerjakan dan Sang Pangeran merasa bosan, dia akan langsung berhenti saat itu juga.

Sayang, teramat sayang, karena hal itupun, Pangeran menjadi cepat bosan denga ilmu yang harus dipelajarinya sebagai calon pengganti Raja.
Baru separuh ilmu sebuah bisang dikuasainya, keinginannya berubah, ingin mempelajari ilmu yang lain. Begitu seterusnya. Berkali-kali, hingga Raja merasa sangat sedih akan perbuatan putra kebanggaannya ini.

Suatu saat, Raja mengeluarkan titah bagi Pangeran, "Ini adalah kesempatan terakhir yang akan kuberikan padamu. Kau harus benar-benar menuntaskan pelajaranmu, atau berhentilah selamanya."

Pangeran Rytarus bertekad sungguh untuk tidak mengecewakan ayahandanya saat ini. Dia harus berhasil. Dengan segala kepintaran dan kecerdikan yang dimilikinya, Pangeran Rytarus mulai kembali mendalami ilmu sebagai bekal untuk menjadi raja.

Dalam masa itu, di sebuah acara ramah tamah bersama putra putri dari kerajaan-kerajaan tetangga, dia bertemu dengan seorang putri, Putri Legicia.
Demi melihat sang putri tertawa ceria diantara kawan-kawannya, sifat impulsif Pangeran Rytarus kembali muncul. Jatuh hati pada sang putri.

Keesokan harinya, saat matahari masih malu-malu menampakkan wajahnya di ufuk timur, Sang Pangeran mengirimkan kurir pembawa pesan kepada Putri Legicia. Menanyakan kabar Sang Putri di pagi hari.

Saling berkirim pesanpun berlanjut. Hingga beberapa waktu kemudian, Pangeran Rytarus meminang Putri Legicia. Tak dinyana, Sang Putri menerima pinangan itu, walaupun dia memliki alasan yang berbeda dengan Pangeran Rytarus.

Babak baru dalam kehidupan mereka pun dimulai. Ternyata, oh ternyata... Putri Legicia mempunyai sifat utama yang sangat bertolak belakang dengan Pangeran Rytarus. Jika Pangeran adalah seorang yang sangat impulsif, maka sebaliknya Putri Legicia adalah seorang yang sangat senang akan hal-hal terencana dan terstruktur. Bahasa kerennya, Well-Organised.

Seringkali terjadi bentrokan keras akibat hal ini.
Bintang-bintang di langit pun kemudian menjadi saksi tawa dan tangis kedua anak manusia ini.

Putri merasa tak nyaman dengan ke-impulsif-an Pangeran Rytarus. Hampir setiap kali mereka sudah merencanakan sesuatu, Pangeran akan mengajak Putri melakukan hal lain yang saat itu terlintas di pikirannya.

Suatu saat mereka berencana akan pergi menonton pertunjukan di kota. Pangeran Rytarus berjanji pulang lebih cepat dari tempat dia menuntut ilmu. Putri menunggu dengan setia di rumah sambil berdandan mempersiapkan diri untuk pergi bersama Pangeran, Saat pulang tiba. Pangeran memang pulang tepat pada waktunya. Membawa kue-kue untuk Sang Putri dan mengajaknya untuk nonton pertunjukan para penyanyi istana. Tiba-tiba saja Pangeran merasa rindu untuk menonton mereka. Jadilah, mereka berdiam di dalam istana menonton pertunjukan itu.

Itu kisah ke-impulsif-an Pangeran. Jika sudah begitu, Putri Legicia yang sudah menyusun matang-matang rencana kepergian itu akan mulai dengan pertanyaan-pertanyaannya. Seperti....Mengapa ingin diam di istana saja ? Mengapa tak ingin menonton pertunjukan di kota lagi ? Apakah ada yang disembunyikan ?
Pangeran Rytarus pun jadi tidak mengerti. Apa yang disembunyikan? Dia hanya ingin menonton pertunjukan di istana, tak ada perihal lain. Mengapa Putri selalu bertanya 'apa..', 'mengapa..', 'kapan..' padanya ? Pangeran tak habis pikir.

Pangeran Rytarus selalu berpikir, hidup ini indah, mengapa harus dirisaukan apa-apa yang akan terjadi nanti ?
Putri Legicia pun mempunyai pemikiran sendiri, hidup ini indah, jangan sampai karena melangkah tanpa rencana malah merusak keindahannya.

Pernah dengar cerita tentang asal mula lelaki dan perempuan, bahwa tadinya mereka adalah satu ? Satu tubuh namun dengan dua wajah yang saling membelakangi. Hingga akhirnya mereka melihat dunia dari dua sisi yang berbeda. Pangeran Rytarus dan Putri Legicia pun demikian.

Namun, sekeras apapun bentrokan yang mereka alami, Raja Langit masih terus melindungi dan merangkul mereka menjadi satu. Oleh karena itu, mereka masih terus bergenggaman tangan walaupun terkadang saling membuang muka.
Keadaan itu memaksa mereka untuk terus saling mempelajari satu sama lain.

Perlahan, Putri Legicia mulai bisa menerima sifat impulsif Pangeran hatinya itu. Dia memilih menikmatinya, ketimbang Semakin kesini, sering Sang Putri hanya tertawa dalam hati melihat sikap Pangeran. Walaupun terkadang dia harus benar-benar meredakan kesal di hatinya atas sikap Pangeran Rytarus yang terkesan seenaknya.
Pangeran Rytarus pun tampak mulai nyaman dengan Putri Legicia. Hatinya menjadi lebih lembut dibanding sebelumnya.

Suatu malam, Pangeran berbisik pada Putri, "Aku tahu risaumu akan aku yang selalu berubah. Maafkan aku, banyak menjanjikan namun sering mengingkari. Satu janjiku yang tetap akan kupegang. Aku ingin menikmati hari bersamamu, tersenyum denganmu dan hidup baru setiap harinya."

Dalam diam, Putri Legicia mengaminkan janji Pangeran Rytarus itu.

Semoga Raja Langit pun mendengar dan tetap melindungi mereka.
Sehingga mereka bisa hidup bahagia selamanya.
still me @ 2:47 PM and your 0 comments

May 07, 2004
Bukan Sebuah Pembenaran
Menurutku, jalan kecil di samping hotel itu sangat kotor. Banyak sampah yang bertebaran di ujung jalan masuk, tepat di depan warung-warung makan. Aneh, warung-warung itu ramai. Padahal jalanan sepi. Entah darimana asalnya orang-orang yang makan disitu.

Aku melangkah perlahan memasuki jalan itu. Tercekat melihat mobil polisi perlahan mendekati bangunan yang kutuju. Kuputuskan untuk terus berjalan melewati mobil itu. Tapi demi melihat dua orang polisi dalam mobil itu keluar dan bertegur sapa dengan seseorang dari dalam bangunan, aku akhirnya berubah pikiran. Sambil lalu aku mendengar percakapan hangat orang-orang itu. Rupanya polisi-polisi tersebut memang sudah biasa datang kesitu, menjadi semacam pelindung untuk kegiatan busuk yang dilakukan disini. Kegiatan busuk yang akan aku laksanakan juga.

Papan nama di depan pintu itu menginformasikan nama seorang dokter. Masuk kedalam, ruang depan terlihat seperti ruang tunggu dokter. Beberapa wanita duduk di kursi panjang. Tampak bingung. Mungkin seperti itu juga raut wajahku.

Seorang wanita yang duduk di meja, yang bisa kusebut sebagai meja pendaftaran, mengisyaratkan agar aku duduk di kursi seberang mejanya.

"Kapan terakhir datang bulan ?"
"12 Mei, Bu", aku mencoba santun.
"Berarti... lima minggu telat ?"
Aku terdiam.
"Mengapa baru hari ini datang ? Mana yang ngamilin ?" Kalimat-kalimat itu terdengar kasar bagiku.
"Aku..."
"Tidak tanggung jawab. Dasar laki-laki", mungkin dia mencoba berempati terhadapku.

Sungguhpun demikian, bukannya laki-laki itu tidak bertanggung jawab terhadapku.
Saat ini kami kuliah tingkat akhir di kelas yang sama. Empat tahun sudah kami saling mencintai. Ya, aku mencintainya, meskipun tahu bahwa kami tak mungkin bersama. Perbedaan agama di antara kami yang membuat tak mungkin.
Keluarganya menerimaku dengan lapang. Mereka pun sangat baik. Karena hal-hal itulah aku merasa tak mampu untuk melukai mereka.

Juga tak mungkin melukai Mama.
Papa baru saja meninggalkan kami minggu kemarin. Saat-saat sebelum Papa meninggal, aku masih ragu untuk membuang janin ini. Ingin hatiku memeliharanya.
Namun ketika saat itu tiba, ketika Papa meninggal, aku menjadi tumpuan hidup keluargaku.
Gaji tak seberapa dari hasil kerjaku di laboratorium kampus menjadi satu-satunya sumber uang makan bagi Mama dan saudara-saudaraku. Dan mereka sangat berharap aku tamat tahun ini, terus bekerja di tempat dengan penghasilan yang lebih baik. Memang sekarang aku sedang menjalani tahap akhir di kampus, penulisan skripsi. Namun, dengan adanya janin ini...
Saat itulah, aku memilih berbuat kejam seprti ini. Naif. Bukan sebuah alasan yang terpuji untuk menjadi seorang pembunuh. Aku tidak sedang beralasan. Aku hanya mencoba menjaga langkahku tetap di pijakan yang tidak gamang. Sehingga aku mampu menopang mereka yang bertumpu padaku.

"Tiga juta", suara wanita tadi menyentakku.
"Maksud Ibu..?"
"Tiga juta, sudah termasuk obat. Jika kamu setuju, sekarang langsung dikerjakan."
Tanpa melihat kedalam dompet pun, aku tahu bahwa aku tak mempunyai uang sebanyak itu. Tapi tetap kubuka juga dompetku, menghitung semua uang yang dimiliki aku dan kekasihku. Hanya satu juta lima ratus ribu rupiah.
"Aku.. tak punya uang sebanyak itu Bu. Ini semua uangku, hanya setengah dari yang diminta Ibu. Bolehkah dicukupkan sekian ?", aku meletakkan dompetku di atas meja.
"Aduh, aduh.. Disini bukan toko. Kami tidak memberikan fasilitas potongan harga", wajah wanita itu mulai menggambarkan kekesalan.
Aku hampir menangis, "Tapi Bu.."
Wanita itu diam. Membuang muka dariku. Agak lama diam ini. Mungkin jika aku sedang berhitung, aku sudah mencapai angka 100 ketika akhirnya dia berbicara.
"Begini saja. Sekarang kamu ikut saya ke dalam, bertemu dokternya langsung. Kamu bicara langsung saja sama beliau. Siapa tahu bisa ada keringanan."

Wanita itu berdiri dan berbalik memasuki lorong di sebelah kursinya. Aku ikut berjalan sambil melihat kekiri kanan dalam lorong itu.
Yang pertama kutemui adalah sebuah ruangan seperti kamar mandi. Namun tak memiliki bak atau tanda-tanda lain bahwa itu kamar mandi. Keramik batu di lantainya yang mengingatkan aku akan sebuah kamar mandi. Ada seorang pria disana, sedang membersihkan lantai. Normal saja caranya, setelah kain disapukan ke lantai, si pria memeras kain itu ke ember. Yang menarik perhatianku adalah hasil perasan itu berwarna merah. Otot perutku kejang sekejap. Tak cukup berani untuk bertanya, aku rasa aku sudah tahu mengapa air itu berwarna merah.

Sebuah meja seperti di ruangan depan kutemui lagi di ujung lorong itu. Lebih ramai dari ruang depan. Mungkin karena ruangan itu lebih kecil. Tampak beberapa perempuan keluar masuk ke sebuah ruangan di samping meja itu. Sebagian ada yang berpakaian selayaknya dokter. Aneh menurutku, tak ada dari dokter-dokter itu yang laki-laki. Padahal nama di papan pintu masuk tadi menunjukkan nama dokter laki-laki.

Aku disuruh duduk di meja itu. Di sampingku duduk seorang perempuan juga namun ada lelaki di belakangnya. Ekspresi mereka sepertinya memang ekspresi wajib untuk setiap tamu di rumah ini, ekspresi wajah bingung.

Kemudian datang salah satu dari mereka yang tampak seperti dokter tadi, duduk di seberangku.

"Ya, bagaimana ?" Tanyanya padaku.
"....", tak tahu hendak menjawab apa.
Sebuah suara di belakangku yang menjawab, "Priksa dulu Dok. Supaya tahu mau di-charge berapa."
"Ayo ikut saya", Dokter tadi melenggang masuk ruangan samping, ruang periksa rupanya.

Aku berbaring di atas dipan putih. Dokter meletakkan tangan diatas perutku dan mulai menekan-nekannya. Sejurus kemudian, dia menggeleng-geleng.
Aku tak mengerti, hanya turun dan mengikuti dia kembali ke mejanya.

"Usianya sudah cukup krisis sebenarnya. Tapi, ok.. kami bisa menanganinya. Tiga juta."
"Tapi Dok, saya benar-benar tak memiliki uang sebanyak itu. Saya hanya punya setengahnya."
"Kalau begitu, terserah anda. Silahkan buat pilihan."
"Dokter, bolehkah saya cari dulu uang kekurangannya?"
"Sudah saya bilang, terserah. Tapi jika anda lebih lama lagi datang kesini, kandungan anda akan semakin besar dan biaya pun akan berbeda."
Tuhan, apa yang harus kulakukan?

Akhirnya aku hanya duduk terdiam di kursi itu. Dokter tadi mulai melayani 'tamu-tamu' yang lain. Aku diam. Lebih tepatnya, aku tak tahu hendak berbuat apa.
Pikirku, jika aku pergi darisini, kemana arahku ? Meminjam kemana ? Menjual apa ? Jika saja uangku bisa di-kloning, pasti jumlahnya akan cukup.
Kepalaku semakin tertunduk. Berat.

"Sebentar lagi jam istirahat kami. Jika anda belum bisa mengambil keputusan, sebaiknya anda meninggalkan tempat ini", suara dokter itu tak mampu membuatku mengangkat mukaku.

Masih dalam diam, kurasakan dia menyentuh tanganku.

"Berapa sebenarnya uangmu ?"
"Satu juta setengah, Dok."
"Hhh...baiklah. Berjanjilah jangan melakukan lagi kesalahan yang sama. Ini obat-obat yang harus kauminum dalam seminggu ini. Pakai pembalut selama darahnya belum berhenti", aku merasakan tangannya menyelipkan 3 plastik kecil obat ke dalam genggamanku.

Tak kuasa, sebutir airmata meluncur dari mataku. Hanya sebutir. Aku harus kuat. Demi semua yang mencintaiku.
Kuraih uang dalam dompet dan memberikan pada dokter itu. Entah mengapa, aku merasa lebih hormat terhadapnya.
Dia mengajak aku masuk lebih dalam lagi ke ruang periksa tadi. Menyuruhku berbaring di meja operasi, dan memberikan secarik kain untukku.

Aku harus membaui kain itu. Kacamataku diambil. Tanpa kacamata itu aku takkan mampu melihat dengan jelas. Ditambah dengan pengaruh dari sesuatu yang berasal dari kain tadi, aku menjadi agak pusing. Namun samar-samar aku masih bisa mendengar suara-suara sekitar.

"Buka celanamu."
Kutarik celanaku. Entah kutaruh dimana sesudahnya.
Aku ingin berbicara pada dokter itu.
Memberitahunya bahwa aku belum benar-benar terbius.
Aku masih bisa merasa.

Namun sepertinya bibirku tak bergerak.
Aku masih berjuang keras untuk berkata-kata ketika kurasakan sedotan keras di bawah perutku.
Apa yang terjadi ?
Tak ada rasa sakit.
Aku hanya merasa tersedot. Atau disedot. Entahlah.
Pikiranku masih mampu berputar-putar tapi badanku tak merasa sakit.
Kembali aku merasa seperti disedot.
Apa itu hanya ilusiku ? Aku kan sedang dibius.
Makin melemah badanku.
Kemudian aku merasa sesuatu diusapkan ke mukaku.
Dingin.
Tidak, basah.
Sepertinya sebuah kain yang lain.
Tapi kali ini digosokkan ke pipiku.
Dan aku mulai merasa goncangan di badanku.

"Sudah selesai. Kamu boleh turun. Ini, pakai sendiri celanamu."

Aku menurut walaupun perasaan dan pikiranku tak menentu.
Aku merasakan sesuatu dalam celanaku. Ternyata sudah dipasang pembalut.

Aku berjalan keluar. Tepatnya didorong keluar ruangan itu, ke sebuah ruangan lagi.

Mual. Sangat mual. Aku ingin muntah.

Saat itu sebuah loyang diangsurkan kedepanku. Untuk muntahanku.
Aku muntah kesitu. Tapi mengapa muntahanku jatuh ke lantai ?
Jarak pandangku berubah. Mungkin karena aku tak memakai kacamata.
Aku dengar ada yang memarahiku. Karena muntahanku itu.
Tapi kemudian seorang laki-laki datang membersihkannya.

Aku duduk di sofa rusak dalam ruangan itu. Meminum teh yang disediakan untukku.
Aku sadar. Tapi badanku lemah.

Aku butuh diam sejenak. Pelan-pelan badanku mulai kuat walaupun belum kembali normal.

Aku menegakkan badanku, mengajaknya berdiri dan melangkah keluar. Ternyata aku langsung mencapai jalan sepi tadi.

Badanku ringan. tapi tidak pikiranku. Berat. Lebih berat lagi.
Ingin menangis ketika akhirnya mengerti bahwa janinku sudah tidak ada lagi.
Aku membunuhnya.
Dengan mengatasnamakan cintaku pada mereka.

Sudah terjadi.
Aku sudah mengembalikan kakiku ke jalan yang memang harus kulewati.

Ampuni aku ya Allah..

[Untuk seorang wanita kuat, yang mengajarkan aku tentang mencintai tanpa penyesalan.
Terima kasih untuk tulusmu, untuk ada tiap kali aku membutuhkanmu, untuk menjadikan aku role-model, terlebih lagi...
untuk mencintai dia tanpa penyesalan.]
still me @ 2:47 PM and your

leon!E ~ Jan'2006